Bukan Sekadar Tilang: Peran Edukasi Polisi dalam Membentuk Budaya Tertib Lalu Lintas

Admin/ Oktober 2, 2025/ Polisi

Dalam konteks manajemen lalu lintas modern, peran polisi tidak lagi terbatas pada penegakan hukum dan pemberian tilang semata. Transformasi peran ini menuju pendekatan yang lebih edukatif adalah kunci untuk membangun Budaya Tertib lalu lintas yang berkelanjutan dan kesadaran berlalu lintas yang mendalam di masyarakat. Sementara penindakan hukum penting untuk memberikan efek jera, upaya pembinaan dan sosialisasi yang dilakukan oleh kepolisian memiliki dampak jangka panjang yang lebih signifikan. Menciptakan Budaya Tertib berarti mengubah pola pikir pengguna jalan dari rasa takut terhadap hukuman menjadi kesadaran akan keselamatan diri dan orang lain. Ini adalah investasi sosial yang harus terus ditingkatkan.

Strategi edukasi kepolisian berfokus pada dua aspek utama: pencegahan dini dan kampanye publik yang masif. Program pencegahan dini, misalnya, dilakukan melalui kerja sama dengan sekolah. Unit Kepolisian Lalu Lintas seringkali mengadakan kunjungan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) untuk memberikan materi tentang keselamatan berkendara, etika di jalan, dan bahaya balap liar. Pada laporan kegiatan Triwulan III tahun 2025, Satuan Lalu Lintas (Satlantas) di sebuah wilayah mencatat telah menjangkau lebih dari 5.000 pelajar melalui program “Polisi Sahabat Remaja.” Target utamanya adalah menanamkan pentingnya Budaya Tertib sejak usia dini, sebelum mereka mencapai usia legal untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi (SIM).

Selain menjangkau pelajar, polisi juga aktif dalam kampanye edukasi berbasis teknologi dan komunitas. Di era digital, informasi mengenai perubahan peraturan, kawasan rawan kecelakaan, atau tips keselamatan kini disebarluaskan melalui media sosial resmi kepolisian. Kampanye ini dirancang agar mudah dicerna dan engaging. Di tingkat komunitas, Polisi berkoordinasi dengan Ketua Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) untuk mengadakan penyuluhan berkala, khususnya di area padat penduduk dan pasar tradisional, yang rawan pelanggaran kecil seperti parkir sembarangan.

Melalui pendekatan edukatif, polisi bertindak sebagai mitra masyarakat dalam upaya Meningkatkan Keselamatan di jalan raya, bukan hanya sebagai pihak yang menghukum. Pendekatan persuasif dan humanis ini terbukti lebih efektif dalam jangka panjang untuk membentuk Budaya Tertib dan kesadaran diri. Ketika masyarakat memahami mengapa rambu batas kecepatan 40 km/jam itu ada—yaitu demi keselamatan pejalan kaki di area sekolah, bukan hanya karena ada polisi—barulah kepatuhan menjadi kebiasaan, bukan keterpaksaan. Dengan demikian, edukasi adalah fondasi terkuat dari keselamatan berlalu lintas nasional.

Share this Post