Penyidik dan Hak Asasi: Pedoman Penggunaan Kewenangan Penahanan dan Penggeledahan yang Sesuai UU
Dalam sistem peradilan pidana, kewenangan penyidik Polri untuk melakukan penahanan dan penggeledahan merupakan alat yang sangat kuat untuk mengungkap kejahatan, namun di saat yang sama, ia berpotensi besar melanggar hak asasi manusia (HAM) jika tidak dilaksanakan sesuai prosedur. Oleh karena itu, penerapan Pedoman Penggunaan Kewenangan penahanan dan penggeledahan harus dilakukan secara ketat, transparan, dan akuntabel, sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kepatuhan terhadap Pedoman Penggunaan Kewenangan ini menjadi indikator penting profesionalisme penyidik di Indonesia. Menurut laporan tahunan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tahun 2024, keluhan terkait prosedur penangkapan dan penahanan menempati posisi teratas, menekankan perlunya implementasi pedoman yang lebih ketat.
Kewenangan Penahanan dan Batasannya
Penahanan adalah tindakan membatasi kemerdekaan seseorang dan hanya boleh dilakukan jika terpenuhi dua syarat kumulatif: adanya bukti permulaan yang cukup bahwa tersangka melakukan tindak pidana, dan adanya alasan subjektif yang dikhawatirkan (seperti melarikan diri, merusak barang bukti, atau mengulangi tindak pidana). Durasi penahanan memiliki batas waktu yang ketat, di mana penyidik hanya boleh menahan maksimal 20 hari, yang dapat diperpanjang oleh penuntut umum. Sebagai ilustrasi, pada hari Rabu, 19 November 2025, pukul 10.00 WIB, Kanit Reskrim Polsek Tanah Abang, Ipda Fajar, mengeluarkan Surat Perintah Penahanan (SPP) terhadap tersangka pencurian dengan alasan khawatir tersangka melarikan diri dan menghilangkan barang bukti. Tindakan ini harus didasari oleh bukti yang kuat dan dicatatkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP).
Kewenangan Penggeledahan dan Prosedur Hukum
Penggeledahan, baik penggeledahan badan maupun penggeledahan rumah, adalah tindakan yang sangat mengintervensi privasi seseorang. Pedoman Penggunaan Kewenangan penggeledahan mensyaratkan adanya Surat Izin Penggeledahan dari Ketua Pengadilan Negeri setempat, kecuali dalam keadaan mendesak di mana surat izin dapat menyusul setelah penggeledahan dilakukan. Pasal 33 KUHAP mengatur bahwa penggeledahan rumah harus disaksikan oleh dua orang saksi, dan jika perlu, oleh kepala desa atau lurah setempat.
Contoh spesifik: pada hari Kamis, 20 November 2025, pukul 14.00 WIB, Tim Penyidik Polda Jawa Timur melakukan penggeledahan di rumah seorang tersangka kasus illegal logging di Surabaya. Penggeledahan ini didampingi oleh Lurah setempat, Bapak Santoso, dan dua orang saksi non-aparat. Tim penyidik memastikan semua barang bukti yang disita, termasuk dokumen dan perangkat komputer, dicatat secara rinci dalam Berita Acara Penyitaan dan diberikan salinan berita acaranya kepada tersangka. Prosedur ini krusial untuk menjaga integritas bukti dan menghindari gugatan praperadilan.
Kepatuhan terhadap Pedoman Penggunaan Kewenangan ini bukan hanya formalitas, tetapi merupakan jaminan perlindungan HAM yang menjadi dasar legitimasi tindakan penyidik di mata masyarakat dan hukum. Pelanggaran prosedur, sekecil apapun, dapat menyebabkan gugurnya alat bukti di pengadilan atau bahkan kemenangan praperadilan bagi tersangka. Oleh karena itu, pelatihan dan pengawasan internal yang ketat di lingkungan Reserse Polri terus ditekankan untuk menciptakan penyidik yang profesional dan menghormati hak asasi manusia.
